Kamis, 26 Juli 2012

Gone

0 komentar

"Farah, itu ada yang nyariin?"
Pagi-pagi suara nyaring itu sudah terdengar di seluk beluk rumah Farah. Hari ini adalah hari pertama untuk menjadi siswa kelas 11 di sebuah sekolah menengah akhir paling favorit di Yogyakarta. Tentu saja ia merasa sangat senang karena hari ini ia akan bertemu teman-teman barunya.
"Siapa, Ma?"

"Mama juga nggak tau. Mungkin temen kamu, Far. Udah nungguin itu di gerbang rumah," ucap Bu Widi, ibu Farah.
"Yaudah, Farah berangkat ya, Ma. Doain hari ini adalah hari keberuntungan Farah,"
Farah menuruni setiap tangga teras rumahnya. Tepat di depan matanya ada seorang laki-laki gagah yang sedang duduk di atas motornya yang juga gagah. Mata Farah melihat dengan seksama siapa laki-laki yang ada di depan rumah itu. Ia mendekat lalu tersenyum saat mengetahui siapa laki-laki yang mencarinya di pagi yang cerah ini.
"Mas Aji? Kok di sini?"
"Eh, Farah. Bareng yuk. Tadi aku waktu berangkat nganter ayah aku dulu ke kantornya terus lewat rumah kamu deh,"
"Oh gitu ya, Mas. Boleh juga deh bareng ke sekolah,"
Jantung Farah terasa seakan-akan meloncat dari dadanya. Nafasnya sesak tak beratur. Ini bukan karena ia sakit, tetapi karena ia malu dan tak tahu apa lagi yang akan menjadi bahan obrolannya dengan Aji selama di perjalanan. Hanya untuk informasi, Aji adalah kakak kelas Farah. Ia sekarang menjadi kapten basket yang cukup digemari oleh banyak gadis di sekolah Farah.
"Far, nanti pulangnya mau bareng lagi?" selidik Aji dengan suara yang lirih.
"Boleh, Mas. Lumayan kan hemat bensin sama uang jajan juga,"
Waktu berlalu dengan cepat. Hari sudah beranjak sore. Matahari sudah kembali ke peraduannya. Farah sudah hampir menunggu satu jam di halte dekat sekolahnya, tetapi Aji pun tak kunjung tiba. Tak terasa langit gelap dan mendung. Gerimis perlahan mulai turun membasahi jalanan.
"Farah? Masih di sini? Kok nggak pulang?" suara seorang laki-laki terdengar tepat di sebelahnya.
Farah menoleh dan ternyata laki-laki itu adalah Radit, teman satu organisasinya. Ia menjawab dengan volume yang kecil, "Aku nungguin Mas Aji, kamu lihat dia nggak?"
Radit membelalak kaget. Mulutnya terbuka dan mencoba menjelaskan kepada Farah tentang apa yang ia lihat tadi siang.
"Oh jadi tadi Mas Aji udah pulang sama Mbak Kia ya, Dit?"
"Iya, Far. Kamu nggak apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa kok," Farah mencoba mengatur nafasnya kembali, "ini kan hujannya makin deras, Dit. Rumah kita kan searah. Mau bareng naik bus nggak?"
"Iya deh, boleh. Jarang lho ada cewek cantik mau pulang bareng cowok kaya aku gini,"
Sebenarnya Radit adalah laki-laki yang menarik. Tingginya cukup, tubuhnya atletis, wajahnya tampan, baunya wangi, dan penampilannya sangat menarik. Ia adalah keturunan orang kaya, mobilnya menjamur, rumahnya menjamur, saat butuh uang ia tinggal bilang saja. Tetapi ia bukan tipe laki-laki yang suka menghambur-hamburkan uang. Ia mempunyai mobil, tetapi ia lebih senang pulang pergi naik bus kota. Ia mempunyai rumah yang bagaikan istana, tetapi ia cukup senang tinggal di rumah pamannya yang sederhana.
"Far, kok diem? Nggak biasa naik bus kota ya?" Radit mengerjapkan matanya saat melihat gadis di sebelahnya kaku dan mendingin. "Far? Kamu sakit?"
Farah hanya menggeleng melemah. Farah memang tidak biasa naik angkutan umum, hal inilah yang menyebabkan Farah kaku dan hanya bisa diam. Tanpa pikir panjang, Radit menggenggam tangan Farah yang dingin lalu mendekatkan dirinya ke Farah. Farah diam mematung melihat ke arah Radit dengan pandangan yang kosong.
"Makasih ya, Dit. Makasih banget udah nganterin aku sampai rumah dengan selamat dan makasih ya tadi di bus,"
"Itu yakin udah nggak apa-apa sekarang, Far? Tadi muka kamu pucat banget lho," Radit memegang dahi Farah yang sudah mulai hangat kembali.
"Iya udah nggak apa-apa. Makasih ya sekali lagi. Aku masuk dulu,"
Sejak saat itu, hubungan Farah dan Radit mulai akrab. Slentingan-slentingan kecil dari Radit selalu membuat Farah tersenyum. Ya, sepertinya laki-laki itu berhasil membuat Farah melupakan Aji dan mulai menyambut Radit dihatinya.
Saat itu mereka berdua duduk di taman tengah sekolahnya. Dan tiba-tiba sekelompok orang mendatangi mereka dengan wajah yang garang. Sekelompok orang itu adalah Aji dan kawan-kawannya.
"Farah, jadi kamu sekarang sama Radit?" Aji bertanya dengan nada suara yang meninggi dan penuh tekanan.
"Mas Aji, ini ada apa sih?" Farah melihat sekelilingnya, melihat teman-temannya yang lain menoleh kepadanya.
"Mas Aji, ini ada apa sih rame-rame?" Tubuh Radit mendekat dan membisikkan sesuatu kepada Aji, "Mas Aji kalau mau one by one dong. Jangan keroyokan!"
Radit menjauh dari tempat Aji berdiri. Ia dengan segera menggenggam tangan Farah. Farah hanya diam dan mengiyakan semua hal yang dilakukan Radit kepadanya saat itu.
"Radit..." mata Farah mulai berlinangan air mata, "makasih lagi ya udah narik aku dari mereka semua,"
"Far, kamu nangis?" Radit menundukkan kepalanya dan tak lama setelah itu ia membiarkan Farah tenggelam dalam pelukannya.
Hampir beberapa menit lamanya mereka tenggelam dalam suasana siang yang romantis. Semua itu berakhir saat bel siang hari berbunyi dan itu berarti saatnya pulang sekolah.
"Dit, aku boleh tanya sesuatu nggak?" Farah memberhentikan langkah kaki Radit.
"Boleh kok, Far. Mau tanya apa?"
"Kamu suka ya sama aku?"
"Semua orang suka sama kamu, Far," Radit tertawa ringan.
"Suka dalam arti..."
"Wow tunggu, Far. Kita selama ini temenan kan? Kamu nggak anggep kita lebih kan?"
Farah membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan Radit. Apa yang terjadi? Entahlah hanya Farah yang mengerti.
Hari-hari Farah kini terasa hambar. Ia mulai menjauh dari Radit. Hal ini berlangsung setelah Radit mematahkan sayapnya dan membuat Farah terjatuh tak berdaya. Ia hanya dapat memandangi Radit dari kejauhan. Dadanya terasa sesak, hatinya perih melihat Radit yang mulai dekat dengan gadis lain.
Saat hari kelulusan...
"Farah, selamat ya udah diterima di kedokteran,"
"Iya, Ren. Makasih ya."
"Farah selamat ya..." suara itu terngiang kembali di dekat Farah.
"Radit?" mata Farah berlinangan air, tubuhnya melemas seperti akan jatuh ke lantai, tetapi ia tetap berusaha menahannya.
"Farah, kamu nggak apa-apa?" Radit memegang lengan Farah.
"Apa kamu selalu bersikap kaya gini sama semua cewek? Apa kamu selalu perhatian sama semua cewek? Radit, apa kamu bisa rasain apa yang aku rasa? Ini udah hampir 1 tahun lebih, Dit. Kamu udah pacaran sama Evi, dan lihat aku, Dit! Lihat aku belum bisa ngelupain kamu, bahkan sedetikpun aku nggak bisa berpaling dari kamu, Dit. Apa yang kamu lakuin sama hati aku? Sekarang udah mati dan seolah-olah aku nggak bisa ngerasain apa itu jatuh cinta. Kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku, Dit? Kenapa kamu selalu ngasih aku kesempatan tapi kamu nggak pernah tahu kalo aku juga kasih kesempatan ke kamu. Apa mau kamu, Dit?"
"Farah, denger. Aku nggak pernah anggep kita lebih dari temen, Far. Semua yang aku lakuin ke kamu? Itu hanya bentuk peduli terhadap sesama teman. Dan maaf, Far. Aku udah nutup hati aku buat kamu. Aku sayang sama Evi dan maaf aku sama sekali nggak ada perasaan sama kamu,"
Radit pergi meninggalkan Farah yang terbujur kaku di tempatnya berdiri dan menghampiri Evi.
"Siapa yang bermain api duluan, Dit?" Evi bertanya dengan nada yang serius.
"Apa maksudnya, Vi?"
"Farah, kamu sama Farah ada apa?"
"Farah itu salah paham!"
"Tahu nggak kamu, Dit? Kalau kamu udah bermain api dan api itu terbakar, maka seharusnya kamu turut terbakar di dalamnya,"
"Evi, jelasin maksudnya apa?"
"Saat seorang wanita merasa benar-benar mencintai dirimu, maka jangan sekali-sekali kamu meninggalkannya karena saat kamu meninggalkannya, hidup wanita itu akan langsung hambar dan tanpa rasa,"
"Terus aku harus gimana?"
"Kita udahan, Dit. Apa mungkin aku bisa sayang sama cowok yang disayang sama cewek lain? Semua hubungan yang dimulai dengan awal yang buruk pasti akan berakhir dengan keburukan juga, Dit,"
"Yaudah apa mau kamu bakalan aku turutin. Tapi inget, Vi. Aku sayangnya sama kamu. Bukan sama Farah atau cewek manapun. Aku akan nungguin kamu. Aku akan nungguin sampai kamu mau nerima aku lagi,"
Perempuan dan laki-laki sudah pasti berbeda. Caranya saat mencintai pasangannya juga bisa dipastikan akan berbeda.
Seorang perempuan apabila sudah mencintai pasangannya maka akan setia dan akan mengejar cinta itu sampai saatnya nanti akan menemukan sebuah kejelasan.
Dan kesetiaan seorang laki-laki adalah sesuatu yang jarang ditemukan karena laki-laki itu dikatakan setia apabila saat pasangannya bahagia laki-laki itu akan lebih bahagia. Saat pasangannya terluka, laki-laki itu akan memberikan seluruh tenaganya untuk mengobati luka dengan perhatian yang selalu ia lakukan. Dan saat laki-laki ditinggalkan oleh orang yang ia sayang, maka ia akan menangis dan mengeluarkan air mata kesedihan dan ketulusan.

Leave a Reply