"Farah, itu ada yang
nyariin?"
Pagi-pagi suara nyaring itu
sudah terdengar di seluk beluk rumah Farah. Hari ini adalah hari pertama untuk
menjadi siswa kelas 11 di sebuah sekolah menengah akhir paling favorit di
Yogyakarta. Tentu saja ia merasa sangat senang karena hari ini ia akan bertemu
teman-teman barunya.
"Siapa, Ma?"
"Mama juga nggak tau.
Mungkin temen kamu, Far. Udah nungguin itu di gerbang rumah," ucap Bu
Widi, ibu Farah.
"Yaudah, Farah berangkat
ya, Ma. Doain hari ini adalah hari keberuntungan Farah,"
Farah menuruni setiap tangga
teras rumahnya. Tepat di depan matanya ada seorang laki-laki gagah yang sedang
duduk di atas motornya yang juga gagah. Mata Farah melihat dengan seksama siapa
laki-laki yang ada di depan rumah itu. Ia mendekat lalu tersenyum saat
mengetahui siapa laki-laki yang mencarinya di pagi yang cerah ini.
"Mas Aji? Kok di
sini?"
"Eh, Farah. Bareng yuk.
Tadi aku waktu berangkat nganter ayah aku dulu ke kantornya terus lewat rumah
kamu deh,"
"Oh gitu ya, Mas. Boleh
juga deh bareng ke sekolah,"
Jantung Farah terasa
seakan-akan meloncat dari dadanya. Nafasnya sesak tak beratur. Ini bukan karena
ia sakit, tetapi karena ia malu dan tak tahu apa lagi yang akan menjadi bahan
obrolannya dengan Aji selama di perjalanan. Hanya untuk informasi, Aji adalah
kakak kelas Farah. Ia sekarang menjadi kapten basket yang cukup digemari oleh
banyak gadis di sekolah Farah.
"Far, nanti pulangnya mau
bareng lagi?" selidik Aji dengan suara yang lirih.
"Boleh, Mas. Lumayan kan
hemat bensin sama uang jajan juga,"
Waktu berlalu dengan cepat.
Hari sudah beranjak sore. Matahari sudah kembali ke peraduannya. Farah sudah
hampir menunggu satu jam di halte dekat sekolahnya, tetapi Aji pun tak kunjung
tiba. Tak terasa langit gelap dan mendung. Gerimis perlahan mulai turun membasahi
jalanan.
"Farah? Masih di sini?
Kok nggak pulang?" suara seorang laki-laki terdengar tepat di sebelahnya.
Farah menoleh dan ternyata
laki-laki itu adalah Radit, teman satu organisasinya. Ia menjawab dengan volume
yang kecil, "Aku nungguin Mas Aji, kamu lihat dia nggak?"
Radit membelalak kaget.
Mulutnya terbuka dan mencoba menjelaskan kepada Farah tentang apa yang ia lihat
tadi siang.
"Oh jadi tadi Mas Aji
udah pulang sama Mbak Kia ya, Dit?"
"Iya, Far. Kamu nggak
apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa kok,"
Farah mencoba mengatur nafasnya kembali, "ini kan hujannya makin deras,
Dit. Rumah kita kan searah. Mau bareng naik bus nggak?"
"Iya deh, boleh. Jarang
lho ada cewek cantik mau pulang bareng cowok kaya aku gini,"
Sebenarnya Radit adalah
laki-laki yang menarik. Tingginya cukup, tubuhnya atletis, wajahnya tampan,
baunya wangi, dan penampilannya sangat menarik. Ia adalah keturunan orang kaya,
mobilnya menjamur, rumahnya menjamur, saat butuh uang ia tinggal bilang saja.
Tetapi ia bukan tipe laki-laki yang suka menghambur-hamburkan uang. Ia
mempunyai mobil, tetapi ia lebih senang pulang pergi naik bus kota. Ia
mempunyai rumah yang bagaikan istana, tetapi ia cukup senang tinggal di rumah
pamannya yang sederhana.
"Far, kok diem? Nggak
biasa naik bus kota ya?" Radit mengerjapkan matanya saat melihat gadis di
sebelahnya kaku dan mendingin. "Far? Kamu sakit?"
Farah hanya menggeleng
melemah. Farah memang tidak biasa naik angkutan umum, hal inilah yang
menyebabkan Farah kaku dan hanya bisa diam. Tanpa pikir panjang, Radit
menggenggam tangan Farah yang dingin lalu mendekatkan dirinya ke Farah. Farah
diam mematung melihat ke arah Radit dengan pandangan yang kosong.
"Makasih ya, Dit. Makasih
banget udah nganterin aku sampai rumah dengan selamat dan makasih ya tadi di
bus,"
"Itu yakin udah nggak
apa-apa sekarang, Far? Tadi muka kamu pucat banget lho," Radit memegang
dahi Farah yang sudah mulai hangat kembali.
"Iya udah nggak apa-apa.
Makasih ya sekali lagi. Aku masuk dulu,"
Sejak saat itu, hubungan Farah
dan Radit mulai akrab. Slentingan-slentingan kecil dari Radit selalu membuat
Farah tersenyum. Ya, sepertinya laki-laki itu berhasil membuat Farah melupakan
Aji dan mulai menyambut Radit dihatinya.
Saat itu mereka berdua duduk
di taman tengah sekolahnya. Dan tiba-tiba sekelompok orang mendatangi mereka
dengan wajah yang garang. Sekelompok orang itu adalah Aji dan kawan-kawannya.
"Farah, jadi kamu
sekarang sama Radit?" Aji bertanya dengan nada suara yang meninggi dan
penuh tekanan.
"Mas Aji, ini ada apa
sih?" Farah melihat sekelilingnya, melihat teman-temannya yang lain
menoleh kepadanya.
"Mas Aji, ini ada apa sih
rame-rame?" Tubuh Radit mendekat dan membisikkan sesuatu kepada Aji,
"Mas Aji kalau mau one by one dong. Jangan keroyokan!"
Radit menjauh dari tempat Aji
berdiri. Ia dengan segera menggenggam tangan Farah. Farah hanya diam dan
mengiyakan semua hal yang dilakukan Radit kepadanya saat itu.
"Radit..." mata
Farah mulai berlinangan air mata, "makasih lagi ya udah narik aku dari
mereka semua,"
"Far, kamu nangis?"
Radit menundukkan kepalanya dan tak lama setelah itu ia membiarkan Farah
tenggelam dalam pelukannya.
Hampir beberapa menit lamanya
mereka tenggelam dalam suasana siang yang romantis. Semua itu berakhir saat bel
siang hari berbunyi dan itu berarti saatnya pulang sekolah.
"Dit, aku boleh tanya
sesuatu nggak?" Farah memberhentikan langkah kaki Radit.
"Boleh kok, Far. Mau
tanya apa?"
"Kamu suka ya sama
aku?"
"Semua orang suka sama
kamu, Far," Radit tertawa ringan.
"Suka dalam arti..."
"Wow tunggu, Far. Kita
selama ini temenan kan? Kamu nggak anggep kita lebih kan?"
Farah membalikkan tubuhnya dan
berlari meninggalkan Radit. Apa yang terjadi? Entahlah hanya Farah yang
mengerti.
Hari-hari Farah kini terasa
hambar. Ia mulai menjauh dari Radit. Hal ini berlangsung setelah Radit mematahkan
sayapnya dan membuat Farah terjatuh tak berdaya. Ia hanya dapat memandangi
Radit dari kejauhan. Dadanya terasa sesak, hatinya perih melihat Radit yang
mulai dekat dengan gadis lain.
Saat hari kelulusan...
"Farah, selamat ya udah
diterima di kedokteran,"
"Iya, Ren. Makasih
ya."
"Farah selamat
ya..." suara itu terngiang kembali di dekat Farah.
"Radit?" mata Farah
berlinangan air, tubuhnya melemas seperti akan jatuh ke lantai, tetapi ia tetap
berusaha menahannya.
"Farah, kamu nggak
apa-apa?" Radit memegang lengan Farah.
"Apa kamu selalu bersikap
kaya gini sama semua cewek? Apa kamu selalu perhatian sama semua cewek? Radit,
apa kamu bisa rasain apa yang aku rasa? Ini udah hampir 1 tahun lebih, Dit.
Kamu udah pacaran sama Evi, dan lihat aku, Dit! Lihat aku belum bisa ngelupain
kamu, bahkan sedetikpun aku nggak bisa berpaling dari kamu, Dit. Apa yang kamu
lakuin sama hati aku? Sekarang udah mati dan seolah-olah aku nggak bisa
ngerasain apa itu jatuh cinta. Kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku, Dit?
Kenapa kamu selalu ngasih aku kesempatan tapi kamu nggak pernah tahu kalo aku
juga kasih kesempatan ke kamu. Apa mau kamu, Dit?"
"Farah, denger. Aku nggak
pernah anggep kita lebih dari temen, Far. Semua yang aku lakuin ke kamu? Itu
hanya bentuk peduli terhadap sesama teman. Dan maaf, Far. Aku udah nutup hati
aku buat kamu. Aku sayang sama Evi dan maaf aku sama sekali nggak ada perasaan
sama kamu,"
Radit pergi meninggalkan Farah
yang terbujur kaku di tempatnya berdiri dan menghampiri Evi.
"Siapa yang bermain api duluan,
Dit?" Evi bertanya dengan nada yang serius.
"Apa maksudnya, Vi?"
"Farah, kamu sama Farah
ada apa?"
"Farah itu salah
paham!"
"Tahu nggak kamu, Dit?
Kalau kamu udah bermain api dan api itu terbakar, maka seharusnya kamu turut
terbakar di dalamnya,"
"Evi, jelasin maksudnya
apa?"
"Saat seorang wanita
merasa benar-benar mencintai dirimu, maka jangan sekali-sekali kamu
meninggalkannya karena saat kamu meninggalkannya, hidup wanita itu akan
langsung hambar dan tanpa rasa,"
"Terus aku harus
gimana?"
"Kita udahan, Dit. Apa
mungkin aku bisa sayang sama cowok yang disayang sama cewek lain? Semua
hubungan yang dimulai dengan awal yang buruk pasti akan berakhir dengan
keburukan juga, Dit,"
"Yaudah apa mau kamu
bakalan aku turutin. Tapi inget, Vi. Aku sayangnya sama kamu. Bukan sama Farah
atau cewek manapun. Aku akan nungguin kamu. Aku akan nungguin sampai kamu mau
nerima aku lagi,"
Perempuan dan laki-laki sudah
pasti berbeda. Caranya saat mencintai pasangannya juga bisa dipastikan akan
berbeda.
Seorang perempuan apabila
sudah mencintai pasangannya maka akan setia dan akan mengejar cinta itu sampai
saatnya nanti akan menemukan sebuah kejelasan.
Dan kesetiaan seorang
laki-laki adalah sesuatu yang jarang ditemukan karena laki-laki itu dikatakan
setia apabila saat pasangannya bahagia laki-laki itu akan lebih bahagia. Saat
pasangannya terluka, laki-laki itu akan memberikan seluruh tenaganya untuk
mengobati luka dengan perhatian yang selalu ia lakukan. Dan saat laki-laki
ditinggalkan oleh orang yang ia sayang, maka ia akan menangis dan mengeluarkan
air mata kesedihan dan ketulusan.